Monday, 17 November 2014

Ramuan Alami Untuk Mengobati Maag

Obat Alami Untuk Penyakit Maag

Lambung
Penyakit mag atau tukak kambung kelihatannya remeh, namun sering merepotkan. Cepat sembuh tapi juga gampang kambuh. Kemunculan gejalanya ditandai dengan rasa nyeri pada perut gara-gara meningkatnya asam lambung.
Beberapa tanaman biasa digunakan masyarakat untuk meredam mag ini. Di antaranya adalah:

1. Cincau

Daun cincau mengandung bahan kimia berupa senyawa aktif Premnazole dan Phenyl butazone yang mampu menurunkan aktivitas enzim sehingga secara tidak langsung asam lambung yang terbentuk pada cardia dalam dinding lambung juga menurun.

2. Madu organik


Ambil 1-2 sendok teh mentah madu organik. Madu organik secara langsung di mulut dapat untuk meredakan ketidaknyamanan, menenangkan dan cepat atasi sakit maag yang menyakitkan. Madu organik juga tinggi kalium, madu membantu meningkatkan pencernaan dan membentuk sebuah lapisan alkali di dalam perut. Campur madu dengan cuka sari apel untuk membuat minuman yang dapat mengurangi gejala refluks asam lambung secara langsung. Satu sendok madu juga dapat membantu sebelum tidur atau pada malam hari jika terbangun oleh karena refluks asam lambung.

3. Apel Merah


Makan sepotong apel sangat baik ketika mengalami gejala-gejala GERD (gastroesophageal reflux disease). Apel, khususnya jenis merah manis, dapat membantu untuk menciptakan sebuah lapisan basa dalam perut, mengurangi kecenderungan asam untuk kembali naik ke kerongkongan, dan menyebabkan nyeri. Apel juga baik pada waktu tidur untuk mencegah dan mengobati asam lambung pada malam hari.

Selain itu ada juga ramuan untuk mengatasi dan 
obat radang lambung, yaitu :
  • 30 gram temu lawak segar + 10 gram kulit jeruk mandarin kering + 5 butir kapulaga direbus dengan 500 cc air hingga tersisa 200 cc, airnya disaring, diminum hangat-hangat.
  • 75 gram daun lidah buaya dikupas kulitnya + 10 gram adas + 5 butir bunga lawang direbus dengan 500 cc air tersisa 200 cc, airnya disaring + 1 sdm madu, diminum hangat-hangat.
  • 25 gram kunyit segar + 20 gram kencur + 5 butir cengkeh direbus dengan 400 cc air hingga tersisa 200 cc, airnya disaring, diminum hangat-hangat.
  • 3 batang sereh + 15 butir ketumbar + lengkuas direbus dengan 500 cc air hingga tersisa 200 cc, airnya disaring, minum hangat-hangat.
Catatan:
Anda dapat menggunakan salah satu cara tradisional di atas. Lakukan secara teratur sehari 2 kali. Dalam melakukan perebusan gunakan panci enamel atau periuk tanah.

Sunday, 16 November 2014

Vaisesika

Vaisesika Darśana

a. Pendiri dan Sumber Ajarannya

Rsi Kanada
Vaisesika yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke dalam a Darśana agaknya lebih tua dibandingkan dengan filsafat Nyāya. Vaisesikadan Nyāya Darśana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat-sifat dan hakikat Sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula Vaisesika merupakan tambahan dari filsafat Nyāya, yang memiliki analisis pengalaman sebagai objektif utamanya. Diawali dengan susunan pengamatan atas kategori-kategori (padārtha), yaitu perhitungan atau perumusan tentang sifat-sifat umum yang dapat dikenakan pada benda-benda yang ada di alam semesta ini, serta merumuskan konsep-konsep umum yang berlaku pada benda-benda yang dikenal, baik melalui indra maupun melalui penyimpulan, perbandingan, dan otoritas tertinggi. Sistem filsafat Vaisesika mengambil nama dari kata Viśesa yang artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi ciri pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya adalah kekhususan (padārtha) atau kategori-kategori yang nantinya akan disebutkan secara lebih terperinci.

Vaisesika muncul pada abad ke-4 SM, dengan tokohnya Ri Kaāda, yang juga dikenal sebagai Ri Ūluka, sehingga sistem ini juga dikenal sebagai Aūlukya Darśana dan juga dengan nama Kaśyapa dan dianggap seorang Deva-ṛṣi. Kata Ūluka artinya burung hantu. Dalam buku karyanya Vaisesika-Sūtra yang terdiri atas 10 bab, Ri Kaāda menguraikan berbagai permasalahan pada setiap bab sebagai berikut:
  1. Pada bab I berisi keseluruhan kelompok padārtha atau kategori-kategori yang dapat dinyatakan.
  2. Pada bab II berisi penetapan tentang benda-benda.
  3. Pada bab III berisi uraian tentang Jīva dan indra dalam.
  4. Pada bab IV berisi uraian tentang badan dan bahan penyusunnya.
  5. Pada bab V berisi tentang Karma atau kegiatan.
  6. Pada bab VI berisi uaraian tentang Dharma atau kebajikan menurut kitab suci..
  7. Pada bab VII berisi uraian tentang sifat-sifat dan Samavāya (keterpaduan atau saling berhubungan).
  8. Pada bab VIII berisi tentang wujud pengetahuan, sumbernya dan sebagainya.
  9. Pada bab IX berisi tentang pemahaman tertentu atau yang konkrit, dan
  10. Pada bab X berisi uraian tentang perbedaan sifat dari Jīva.
Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk menetapkan tentang Padārtha, tetapi Rsi Kanada membuka pokok permasalahan dengan sebuah pengamatan tentang intisari dari Dharma, yang merupakan sumber dari pengetahuan inti dari Padārtha. Sūtra pertama berbunyi:
Ytao bhyudayanihsreyasa siddhi sa dharma
Artinya, Dharma adalah yang memuliakan dan memberikan kebaikan tertinggi atau Moksa (penghentian dari penderitaan).

b. Pokok-Pokok Ajaran

Padārtha secara harfiah artinya adalah arti dari sebuah kata, tetapi di sini Padārtha adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padārtha merupakan suatu objek yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada). Semua yang ada, yang dapat diamati dan dinamai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padārtha. Bendabenda majemuk saling bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-bendasederhana sifatnya abadi dan bebas. Padārtha dan Vaisesika Darśana, seperti yang disebutkan oleh Rsi Kanada sebenarnya hanya 6 buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh penulis-penulis berikutnya, sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (Padārtha), yaitu:

1) Substansi (dravya).

Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsurunsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Substansi (dravya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau dravya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya. Contoh: tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang terbuat dari tanah. Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula halnya kategori lain tidak dapat ada tanpa substansi (zat) seperti beraneka ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair), tapi air dapat ada walaupun tidak adanya bermacam-macam minuman. Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Vaisesika, yaitu (1) Tanah (pthivī); (2) Air (āpah, jala); (3) Api (tejah); (4) Udara (vāyu); (5) Ether (ākāśa); (6) Waktu (kāla); (7) ruang (dis); (8) diri/roh (Jīva); dan (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut di atas riil, tetap, dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat fisik maupun yang bersifat rohaniah. Adapun yang termasuk substansi badani (fisik) adalah bumi, air, api, udara, ruang, waktu, dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rohaniah terdiri atas akal (manas/ pikiran), diri (atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah ini bersifat kekal dan pada setiap makhluk (manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu manas.

Demikianlah pribadi (diri/atma) itu bersifat individu dan menjadi sumber kesadaran setiap makhluk yang senantiasa berhubungan dengan kegiatan badani atau fisik. Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala sesuatu melalui alat fisik termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun dilain pihak manas juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali. Oleh karena setiap makhluk (manusia) dijiwai oleh pribadi (jiwa/atma). Maka pandangan Vaisesika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis, yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya.

2) Kualitas (gua)

Gua ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Gua sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat. Gua atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu (1) warna (Rūpa); (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha); (4) sentuhan/raba (sparśa); (5) jumlah (khya); (6) ukuran (parimāa); (7) keanekaragaman (pthaktva); (8) persekutuan (sayoga); (9) keterpisahan (vibhāga); (10) keterpencilan (paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12) bobot (gurutva); (13) kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15) suara (śabda); (16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jñāna); (17) kesenangan (sukha); (18) penderitaan (duka); (19) kehendak (īccha); (20) kebencian/keengganan (dvesa); (21) usaha (prayatna); (22) kebajikan/manfaat (dharma); (23) kekurangan/cacat (adharma); dan (24) sifat pembiakan sendiri (saskāra). Sejumlah 8 sifat, yaitu buddhi/jñāna, īccha, dvesa, sukha, duka, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya merupakan milik dari substansi material.

3) Aktivitas (karma)

Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri. Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma, hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada. Gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber dari dirinya, melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber gerakan itu. Benda-benda hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang berkesadaran. Bila terlihat kenyataan yang terjadi di alam ini seperti adanya hembusan angin, peredaran bumi dan planet-planet, maka tentu ada sumber penggerak yang adikodrati. Sumber yang dikodrati itulah Tuhan. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha Mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.

Ada 5 macam gerak, yaitu (1) Utkepaa (gerakan ke atas); (2) Avakepaa (gerakan ke bawah); (3) A-kuñcana (gerakan membengkok); (4) Prasaraa (gerakan mengembang); dan (5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat).

4) Universalia (sāmānya)

Samanya bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu sifat umum yang lebih tinggi dan lebih rendah, dan jenis kelamin dan spesies. Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan konsep universalia dan agak mirip dengan idenya Plato. Ia ada dalam semua dan dalam masing-masing objek, namun tidak berbeda dalam objek partikular yang berbeda. Karenanya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri, namun hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama, namun ‘sapi’ dan ‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari universalia-universalia ini, ‘Ada’ (being, satta) adalah yang tertinggi, karena ia memberikan ciri pada banyak sekali entitas.

5) Individualitas (viśea)

Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya. Sistem Vaisesika diturunkan dari kata viśea, dan merupakan aspek objek yang mendapat penekanan khusus dari para filsuf Vaisesika. Kategori ini berurusan dengan ciri-ciri khusus ke sembilan substansi (dravya). Dalam system Vaisesika, unsur tanah, air, api, udara, dan pikiran dibangun dari atom (paramānu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas. Inilah yang menyebabkan sistem darśana ini disebut Vaiśseika Darśana. 

6) Hubungan Niscaya (samavāya)

Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (sayoga) atau permanen (samavāya). Sayoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang memegangnya. Hubungan selesai ketika buku dilepaskan dari tangan. Di sisi lain, samavāya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di antara keduanya dihancurkan. Ada lima jenis hubungan yang tetap dan entitas yang tetap atau tidak terpisahkan ini (ayūta-sidda):
  • Hubungan keseluruhan dengan bagian-bagiannya, seperti sehelai kain dan benang-benangnya.
  • Hubungan kualitas dengan objek yang memilikinya, seperti kendi air dan warna merahnya.
  • Hubungan antara tindakan dan pelakunya, seperti tindakan melompat dan kuda yang melakukannya.
  • Hubungan antara partikular dengan yang universal, ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi atau bangsa Jepang dan seorang Jepang.
  • Hubungan antara substansi kekal dan substansi khusus. Menurut system Vaisesika, partikel subatomis (paramānu) setiap substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang tidak membiarkan atom dari satu substansi bercampur dengan atom substansi lainnya. Ciri khusus (Viśea) dipertahankan oleh partikel subatomis masing-masing melalui ‘hubungan tak terpisahkan’ (samavāya).

7) Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhāva)

Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness). Semua benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan entitas yang sudah tidak ada digolongkan sebagai abhāva. Sebenarnya kategori ini bukan merupakan sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun hanya modus pengaturan negatif. Abhāva, yang merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu:
  • Pragabhāva, yaitu ketidakadaan dari suatu benda sebelumnya. Contohnya: ketidak adaan periuk sebelum dibuat oleh pengrajin periuk.
  • Dhvasabhāva, yaitu penghentian keberadaan, misalnya periuk yang dipecahkan, di mana dalam pecahan periuk itu tak ada periuk.
  • Atyāntabhāva, atau ketidakadaan timbal balik, seperti misalnya udara yang dari dulu tidak pernah berwarna atau pun berbentuk. Ketiga ketidakadaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidakadaan suatu benda dalam benda yang lain.
  • Anyonyābhāva, atau ketidak adaan mutlak, dimana antara benda yang satu sama sekali tidak ada persamaannya dengan yang lain, seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan sepotong pakaian, demikian pula sebaliknya.

Ṛṣi Kaāda di dalam Sūtra-nya tidak secara terbuka menunjukkan tentang Tuhan. Keyakinannya adalah bahwa formasi atau susunan alam dunia ini merupakan hasil dari Adṛṣṭa yaitu kekuatan yang tak terlihat dari karma atau kegiatan. Beliau menelusuri aktivitas atom dan roh mula-mula melalui prinsip Adṛṣṭa ini. Para pengikut Ri Kaāda kemudian memperkenalkan Tuhan sebagai penyebab efisien dari alam semesta, sedangkan atom-atom adalah materialnya. Atom-atom yang tak terpikirkan itu tidak memiliki daya dan kecerdasan untuk menjalankan alam semesta ini secara teratur. Namun yang pasti, aktivitas atom-atom itu diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kesimpulan dari otoritas kitab suci seperti ini mengharuskan kita untuk mengakui adanya Tuhan. Kecerdasan yang membuat Adṛṣṭa dapat bekerja adalah kecerdasan Tuhan, sedangkan lima unsur (pañca mahābhūta) hanya merupakan akibat. Semua ini harusnya didahului oleh ‘keberadaan’ yang memiliki pengetahuan tentang itu adalah Tuhan. Roh-roh dalam keadaan penghancuran, kurang memiliki kecerdasan, sehingga mereka tidak dapat  mengendalikan aktivitas atom-atom dan dalam atom-atom itu sendiri tidak ada sumber gerakan.

Pada sistem Vaisesika, seperti halnya sistem Nyāya, susunan alam semesta ini diduga dipengaruhi oleh pengumpulan atom-atom, yang tak terhitung jumlahnya dan kekal. Kosmologi Vaisesika dalam batasan mengenai keberadaan atom abadi bersifat dualistik dan secara positif memisahkan hubungan yang pasti antara roh dan materi. Terjadinya alam semesta menurut sistem filsafat Vaisesika memiliki kesamaan dengan ajaran Nyāya yaitu dari gabungan atom-atom catur bhuta (tanah, air, cahaya dan udara) ditambah dengan lima substansi yang bersifat universal seperti akāsa, waktu, ruang, jiwa dan manas.

Lima substansi universal tersebut tidak memiliki atom-atom, maka itu ia tidak dapat memproduksi sesuatu di dunia ini. Cara penggabungan atom-atom itu dimulai dari dua atom (dvyānuka), tiga atom (Triyānuka), dan tiga atom ini saling menggabungkan diri dengan cara yang bermacam-macam, maka terwujudlah alam semesta beserta isinya. Bila gabungan atom-atom dalam Catur Bhuta ini terlepas satu dengan lainnya maka lenyaplah alam beserta isinya. Gabungan dan terpisahnya gerakan atom-atom itu tidaklah dapat terjadi dengan sendirinya, mereka digerakkan oleh suatu kekuatan yang memiliki kesaaran dan kemahakuasaan. Sesuatu yang memiliki kesadaran dan kekuatan yang maha dahsyat itu menurut Vaisesika adalah Tuhan Yang Maha Esa. Vaisesika dalam etikanya menganjurkan semua orang untuk kelepasan. Kelepasan akan dapat dicapai melalui Tatwa Jnaña, Sravāna, manāna, dan Meditasi.

Selanjutnya silahkan baca artikel Sāṁkhya Darśana

Sad Darsana Dan Pembagianya

Bagian-Bagian Sad Darsana

Rsi Kanada
Kata Darśanaberasal dari urat kata dś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan.

Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan Darśana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda. Aliran atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu āstika dan nāstika. Kelompok pertama terdiri atas enam system filosofis utama yang secara populer dikenal sebagai a Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, bukan karena mereka mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari kitabkitab Veda.

Sebagai catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai otoritas kitab kitab Veda, atau orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan kata nāstika berarti lawannya. Di sini, kata tersebut dipergunakan dalam pengertian pertama karena dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah āstika, karena mereka mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, keenam aliran filsafat orthodox adalah āstika dan aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian berikut akan diuraikan tentang a Darśana.

Nyāya Darśana

a. Pendiri dan Sumber Ajaran

Pendiri ajaran ini adalah Ri Gautaman yang juga dikenal dengan nama Akapāda dan Dīrghatapas, yang menulis Nyāyaśāstra atau Nyāya Darśana yang secara umum juga dikenal sebagai Tarka Vāda atau diskusi dan perdebatan tentang suatu Darśana atau pandangan filsafat kurang lebih pada abad ke-4 SM, karena Nyāya mengandung Tarka Vāda (ilmu perdebatan) dan Vāda-vidyā (ilmu diskusi). Sistem filsafat Nyāya membicarakan bagian umum darśana (filsafat) dan metoda (cara) untuk melakukan pengamatan yang kritis. Sistem ini timbul karena adanya pembicaraan yang dilakukan oleh para ṛṣi atau pemikir, dalam usaha mereka mencari arti yang benar dari śloka-ślokaVeda Śruti, guna dipakai dalam penyelenggaraan upacara-upacara Yajña. Nyāyaśāstra terdiri atas 5 Adhyāya (bab) dan dibagi ke dalam 5 ‘pada’ (bagian).

Pada tahun 400 Masehi kitab Nyāyaśāstra ini dikomentari oleh Ri Vāstsyāna dengan karyanya yang berjudul Nyāya Bhāsya (ulasan tentang Nyāya). Objek utamanya adalah untuk menetapkan dengan cara perdebatan, bahwa Parameśvara merupakan pencipta dari alam semesta ini. Nyāya menegakkan keberadaan Īśvara dengan cara penyimpulan, sehingga dikatakan bahwa Nyāya Darśana merupakan sebuah śāstra atau ilmu pengetahuan yang merupakan alat utama untuk meyakini suatu objek dengan penyimpulan yang tidak dapat dihindari.

Dalam hal ini kita harus mau menerima pembantahan macam apapun, tetapi asalkan berdasarkan pada otoritas yang dapat diterima akal. Pembantahan demi untuk aduargumentasi dan bukan bersilat lidah atau berdalih.

b. Sifat Ajaran

Pandangan filsafat Nyāya menyatakan bahwa dunia di luar manusia ini terlepas dari pikiran. Kita dapat memiliki pengetahuan tentang dunia ini dengan melalui pikiran yang dibantu oleh indra. Oleh karena itu sistem filsafat Nyāya ini dapat disebut sebagai sistem yang realistis (nyata). Pengetahuan ini dapat disebut benar atau salah, tergantung daripada alat-alat yang diperguakan untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, dimana secara sistematik semua pengetahuan menyatakan 4 keadaan, yaitu:
  1. Subjek atau si pengamat (pramātā).
  2. Objek yang diamati (prameya).
  3. Keadaan hasil dari pengamatan (pramīti).
  4. Cara untuk mengamati atau pengamatan (pramāa)

Prameya atau objek yang diamati, dengan nama pengetahuan yang benar dapat diperoleh, ada 12 banyaknya, yaitu Roh (Ātman), Badan (śarīra), indriya, objek indriya (artha), kecerdasan (buddhi), pikiran (manas), kegiatan (pravtti), kesalahan (doa), perpindahan (pretyabhāva), buah atau Hasil (phala), penderitaan (duhkha), dan pembebasan (apavarga). Kita membuat perbedaan pada suatu benda karena adanya beberapa ciri-ciri pada kedua benda tersebut yang masing-masing memiliki beberapa atribut yang tak didapati pada bagian lainnya. Karena kekhususan atribut (viśea) merupakan dasar utama dari pengamatan, maka sistem lanjutan dari filsafat ini disebut sebagai Vaiśeika. Nyāya Darśana, yang utamanya bertindak pada garis ilmu pengetahuan atau ilmiah menghubungkan Vaiśeika pada tahapan, di mana materi-materi adhyatmikā (spiritual) terkandung di dalamnya, yang keduanya ini memperguakan Tarka(logika) dan Tattva (filsafat) dimana filsafat dinyatakan melalui media logika.

c. Catur Pramāa

Nyāya Darśana dalam memecahkan ilmu pengetahuan menggunakan 4 metoda pemecahan yang disebut Catur Pramāa, dengan bagian-bagian sebagai berikut:

1. Pratyaka Pramāa, yaitu pengamatan langsung
Pada Pratyaka Pramāa atau pengamatan secara langsung memberikan pengetahuan kepada kita tentang objek-objek menurut keadaannya masingmasing yang disebabkan hubungan panca indra dengan objek yang diamati di mana hubungan itu sangat nyata. Adakalanya terjadi pengamatan yang tidak perlu menggunakan pañca indra dan pengamatan yang luar biasa ini disebut sebagai pengamatan transendental, yang jarang terjadi pada pengamatan orang-orang biasa yang sering pula ditunjang oleh adanya kekuatan supra normal yang dimiliki seorang. Dalam Pratyaka Pramāa ada dua tingkat pengamatan, yaitu:
  • Nirvikalpa yaitu pengamatan yang tidak menentukan. Pengamatan suatu objek adalah sebagai objek saja tanpa adanya suatu penilaian, tanpa hubungan (asosiasi) dengan suatu subjek. Sehingga apa yang dilihat hanyalah objek itu saja yang dianggap benar dan nyata.
  • Savikalpa yaitu pengamatan yang menentukan. Pengamatan terhadap suatu objek yang dibarengi dengan pengenalan terhadap ciri-ciri, sifat-sifat dan juga subjeknya sehingga pengamatan ini sifatnya menyeluruh.

2. Anumāna Pramāa yaitu pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan menarik pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh (linga) yang merupakan suatu kesimpulan dari objek yang ditentukan, disebut juga aya. Hubungan kedua hal tersebut di atas disebut dengan nama Wyapi. Selanjutnya Anumāna Pramāa, yang sangat penting dalam suatu proses pengamatan dalam Nyāya Darśana ini.

Dalam pengamatan dengan Anumāna Pramāa terdapat suatu perantara di antara subjek dan objek, di mana pengamatan langsung dengan indra saja tidak dapat secara langsung menyimpulkan hasil dari pengamatan, tetapi melalui beberapa tahapan (avayaya). seperti di bawah ini:
  • Pratijña, yaitu proses pertama, memperkenalkan objek permasalahan tentang kebenaran pengamatan misalnya gunung api itu berapi.
  • Hetu, yaitu proses kedua, alasan penyimpulan, dimana dalam hal ini adalah adanya terlihat asap yang keluar dari gunung tersebut.
  • Udāharaa, yaitu proses ketiga, menghubungkan dengan aturan umum tentang suatu masalah, yang dalam hal ini adalah bahwa segala yang berasap tentu ada apinya.
  • Upanaya, yaitu proses keempat, pemakaian aturan umum itu pada kenyataan yang dilihat, bahwa jelas gunung itu berapi.
  • Nigaman, yaitu proses kelima, berupa penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya, dengan pernyataan bahwa gunung tersebut berapi.

3. Upamāa Pramāa yaitu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan. Upamāa Pramāa merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang mungkin terjadi atau terjadi di dalam objek yang diamati dengan objek yang sudah ada atau pernah diketahui. Misalnya seorang anak yang diberitahu ibunya bahwa binatang yang namanya komodo itu rupanya mirip dengan biawak tetapi lebih besar, bahkan bisa sebesar seekor buaya. Dalam hal ini si anak telah mengetahui rupa buaya dan biawak, maka ketika si anak pergi ke kebun binatang dan melihat seekor binatang sebesar buaya yang rupanya mirip dengan biawak, ia segera menyimpulkan bahwa binatang tersebut adalah komodo. Inilah yang disebut dengan Upamāa Pramāa.

4. Śabda Pramāa yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan melalui penjelasan dari sumber yang patut dipercaya. Śabda Pramāa adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian (śabda) dari seseorang yang dapat dipercaya kata-katanya ataupun dari naskah yang diakui kebenarannya, dalam hal ini terdapat 2 jenis kesaksian, yaitu:
  • Laukika śabda, yaitu bentuk kesaksian yang berasal dari orang yang dapat dipercaya dan kesaksiannya dapat diterima menurut logika atau akal sehat.
  • Vaidika śabda, yaitu bentuk kesaksian yang didasari pada naskah-naskah suci Veda Śruti, yang merupakan sabda Brahman yang tak mungkin salah.

d. Pokok-pokok ajaran Nyāya

Objek pengetahuan filsafat Nyāya adalah mengenai
  1. Ātma
  2. Tentang tubuh atau badan
  3. Pañca indra dengan objeknya
  4. Buddhi (pengamatan)
  5. Manas (pikiran)
  6. Pravtti (aktivitas)
  7. Doa (perbuatan yang tidak baik)
  8. Pratyabhāva (tentang kelahiran kembali)
  9. Phala (buah perbuatan)
  10. Duka (penderitaan)
  11. Apavarga (bebas dari penderitaan)


Di samping oleh Ri Vāstsyāna yang mengomentari Nyāya Sūtra dengan karyanya yang berjudul Nyāya Bhāsya, Śrikaṇṭha menulis Nyāya-lakara, Jayanta menulis Nyāya-mañjari, Govardhana menulis Nyāya-Bhodhini dan Vācaspati Miśra menulis Nyāya-Varṭṭika-Tatparya-Tīkā. Selain itu Udayana juga menulis sebuah buku yang disebut Nyāya- Kusumāñjali. Seperti yang telah diketahui bahwa filsafat Nyāya merupakan dasar dari semua pengantaran ajaran filsafat Sanskta. Nyāya juga merupakan rangkaian pendahuluan bagi seorang pelajar filsafat, karena tanpa pengetahuan tentang filsafat Nyāya, kita tidak akan dapat memahami Brahma Sūtra dari Śri Vyāaeva, karena filsafat Nyāya membantu untuk mengembangkan daya penalaran ataupun pembantahan, yang membuat kecerdasan bertambah tajam dan lembut gua pencarian filsafat Vedāntik.

2. Vaisesika Darsana Read More....

Sad Darsana

Pengertian Darśana

Darsana Dalam Hindu
Tak sedikit orang yang menganggap bahwa filsafat itu tak lebih dari omong kosong, abstrak, obrolan yang mengawang-awang belaka. Padahal filsafat adalah landasan untuk mengembangkan pengetahuan yang sangat berguna bagi peradaban. Melihat situasi saat ini yang mengalami kemunduran dalam berbagai hal, termasuk dalam cara berfilsafat, maka kita butuh bangkit dengan menggunakan filsafat yang benar, yaitu filsafat yang progresif, dialektis, rasional, logis, dan kritis. Filsafat seperti ini akan membantu kita untuk bangkit. Di tengah fatalisme, orang harus diajak untuk bersikap rasional agar tahu apa masalahnya dan bagaimana menjelaskan dunia secara akal sehat agar bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya. Filsafat membuat kita mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Filsafat membantu kita untuk berpikir kritis dan analitis. Dengan demikian, kita akan dipandu untuk memahami dunia bersama misteri-misterinya, dunia seakan menjadi gambling dengan permasalahan-permasalahannya. Ini juga akan membantu kita untuk mudah menghadapi masalah, dan kadang juga membuat kita mudah mengembangkan pengetahuan serta menggapai keterampilan teknis.

Kata Tattva berasal dari bahasa Sanskerta ‘Tat’ yang artinya ‘Itu’, yang maksudnya adalah hakikat atau kebenaran (Thatnees). Dalam sumber lainnya, kata Tattva juga berarti falsafah (filsafat agama), yakni ilmu yang mempelajari kebenaran sedalamdalamnya (sebenarnya) tentang sesuatu seperti mencari kebenaran tentang Tuhan, tentang atma, serta yang lainya sampai pada proses kebenaran tentang reinkarnasi dan karmapala. Dalam ajaran Tattva, kebenaran yang dicari adalah hakikat tentang Brahman (Tuhan) dan segala sesuatu yang terkait dengan kemahakuasaan Tuhan. Dalam buku Theologi Hindu, kata Tattva berarti hakikat tentang Tat atau Itu (yaitu Tuhan dalam bentuk Nirgua Brahman).
Penggunaan kata Tat sebagai kata yang artinya Tuhan, adalah untuk menunjukkan kepada Tuhan yang jauh dengan manusia. Kata ‘Itu’ dibedakan dengan kata ‘Idam’ yang artinya menunjuk pada kata benda yang dekat (pada semua ciptaan Tuhan). Definisi tersebut berdasarkan pada pengertian bahwa Tuhan atau Brahman adalah asal segala yang ada, Brahman merupakan primacosa yang adanya bersifat mutlak. Karena sumber atas semua yang ada, tanpa ada Brahman maka tidak mungkin semuanya ada. Tattva juga dapat diartikan kebenaran yang sejati dan hakiki. Penggunaan kata Tattva ini adalah istilah dalam filsafat yang didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai yakni kebenaran tertinggi dan hakiki. Dalam lontar-lontar di Bali, kata Tattva lebih sering diguakan jika dibandingkan dengan istilah filsafat yang lainnya.
Dengan pengertian ini dapat diartikan bahwa Tattva adalah suatu istilah dalam filsafat agama yang diartikan sebagai kebenaran sejati dan hakiki yang didasari perenungan mendalam dan memerlukan pemikiran yang cemerlang agar sampai kepada hakikat dan sifat kodrati. Ajaran Hindu kaya akan Tattva, dan secara khusus disebut Darśana.

Kata Darśana berasal dari urat kata dś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda) yang artinya penglihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan tentang kebenaran (filsafat). Filsafat adalah ilmu yang mempelajari bagaimana caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang dicita-citakan. Demikian juga halnya dengan Darśana yang berusaha mengungkap nilai-nilai kebenaran dengan bersumber pada kitab suci Veda. Dalam agama Hindu terdapat sembilan cabang filsafat yang disebut Nawa Darśana.

Pada masa Upaniad, Darśana dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu astika (kelompok yang mengakui Veda sebagai ajaran tertinggi) dan nastika (kelompok yang tidak mengakui Veda ajaran tertinggi ). Terdapat enam cabang filsafat yang mengakui Veda yang disebut a Darśana (Nyāyā, kya, Yoga, Mīmāmsā, Vaisiseka, dan Vedānta) dan tiga cabang filsafat yang menentang Veda yaitu Jaina, Carvaka dan Buddha. Darśana merupakan bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan
inti sari dari ajaran Veda secara menyeluruh dibidang filsafat, yakni aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama. Nama atau istilah lain dari Darśana adalah Mananaśāstra (pemikiran atau renungan filsafat), Vicaraśāstra (menyelidiki tentang kebenaran filsafat), tarka (spekulasi), Śraddhā (keyakinan atau keimanan). Filsafat juga merupakan pencarian rasional ke dalam sifat kebenaran atau realitas yang juga memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahanpermasalahan yang lembut dari kehidupan ini, di mana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian. Filsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakikat kehidupan itu sendiri. Ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui rahasia kematian, kekekalan, sifat dari jīva (roh), dan sang pencipta alam semesta ini. Dalam hal ini filsafat dapat membantu untuk mengetahui semua permasalahan yang dihadapi, karena filsafat merupakan ekspresi diri dari pertumbuhan jiwa manusia, sedangkan filsuf adalah wujud lahiriahnya. Para pemikir kreatif dan para filsuf merupakan wujud yang muncul pada setiap zaman dan mereka mengangkat atau mengilhami umat manusia.


Pemikiran tentang kematian selalu menjadi daya penggerak yang paling kuat dari ajaran agama dan kehidupan keagamaan. Manusia takut akan kematian dan tidak menginginkan untuk mati. Inilah yang merupakan titik awal dari filsafat, karena filsafat berusaha mencari dan menyelidikinya. Pemahaman yang jelas dari manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, merupakan masalah yang sangat penting bagi para pelajar filsafat dan bagi para calon spiritual (sādhaka) sehingga berbagai aliran filsafat dan bermacam-macam aliran kepercayaan keagamaan yang berbeda telah muncul dan berkembang dalam kehidupan umat manusia. Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang sangat luhur, mulia, khas, dan sistematis yang didasarkan atas pengalaman spiritual mistis yang dikenal sebagai Aparoka Anubhūti. Para pengamat spiritual, para orang bijak, dan para Ṛṣi yang telah mengarahkan persepsi intuitif dari kebenaran adalah para pendiri dari berbagai sistem filsafat yang berbeda-beda, yang secara langsung maupun tidak langsung mendasarkan semuanya pada Veda. Mereka yang telah mempelajari kitab-kitab Upaniad secara tekun dan hati-hati akan menemukan keselarasan antara wahyu-wahyu Śruti dengan kesimpulan filsafat. a Darśana yang merupakan enam sistem filsafat Hindu merupakan enam sarana pengajaran yang benar atau enam cara pembuktian kebenaran. Masing-masing kelompok Darśana telah mengembangkan, mensistematisir serta menghubungkan berbagai bagian dari Veda, dengan caranya masing-masing, sehingga masing-masing kelompok tersebut memiliki seorang atau beberapa orang Sūtrakāra, yaitu penyusun doktrin-doktrin dalam ungkapan-ungkapan pendek (aphorisma) yang disebut Sūtra.