Friday, 21 February 2014

Contoh Teks Darma Wacana PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HINDU

 PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HINDU


Om Swastiastu,
Om Avighnam Astu Namo Siddham

Yang terhormat Dewan Juri lomba Dharma Wacana
Yang Saya hormati umat sedharma yang hadir pada acara ini.
Pertama-tama tidak lupa Saya mengucapkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya kita semua dapat berkumpul disini dalam keadaan sehat dan tidak
ida pedanda gde gunung
kurang satu apapun.  Sebelum Saya membawakan Dharma Wacana ini ijinkan Saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama Saya Ni Made Atma Gebi Suryani dan biasa dipanggil Gebi, Saya disini mewakili SMA Negeri 1 Seputih Mataram. Pada kesempatan kali ini, Saya akan membawakan Dharma Wacana dengan tema “PERNIKAHAN USIA DINI DALAM PANDANGAN HINDU”. Saya sangat tertarik untuk mengangkat tema ini, karena pada saat ini banyak sekali terjadi perkawinan usia dini di lingkungan tempat tinggal Saya khususnya dan Negara Indonesia pada umumnya. Sebenarnya tema ini merupakan tema yang bersifat kontroversial, karena masing-masing individu bisa mempersepsikan berbeda-beda. Namun pada intinya Saya hanya ingin membagi cerita yang mungkin bisa menjadi pencerahan untuk direnungkan secara bersama-sama dalam menyikapi pernikahan usia dini dari perspektif agama Hindu.

Umat sedharma, kalau kita kaji perkawinan merupakan salah satu jenjang kehidupan yang semestinya akan kita lewati, dimana pada jenjang ini kewajiban yang harus kita laksanakan adalah pemenuhan artha dan kama berdasarkan dharma. Untuk pemenuhan kewajiban ini, maka seorang suami dan pasanganya harus memiliki bekal yang cukup, baik secara material maupun spiritual. Disamping itu, mental dan ilmu pengetahuan juga menjadi factor yang sangat penting demi tercapainya tujuan dari perkawinan. Namun seiring dengan derasnya arus modernisasi dan kemerosotan nilai moral yang tertanam dalam diri manusia, banyak sekali muncul penyimpangan-penyimpangan dari pelaksanaan dan pandangan terhadap system dan peraturan mengenai perkawinan. Tidak jarang kita temukan kasus perceraian dalam masyarakat, tindak kekerasan dalam rumah tangga serta kasus memiliki istri lebih dari satu. Saat ini, hal itu sangat mudah untuk dilaksanakan dan masyarakatpun menganggap hal semacam itu dengan sikap wajar.

Umat sedharma, sebagai umat Hindu, hendaknya permasalahan tersebut tidak terjadi, karena kita meyakini bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan lahir bhatin yang suci dan sangat sakral sifatnya yang harus selalu dijaga keabadianya. Seperti dalam kitab Manawa Dharmasastra IX. 101, diuraikan;

 “Anyonyasyawayabhicaro
Bhaweamarnantikah
Esa dharmah samasena
Jneyah stripumsayoh parah”
Artinya:
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.

Berdasarkan sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri, kita diwajibkan untuk melakukan perkawinan sekali saja dalam kehidupan kita. Untuk itu, maka perlu bekal ilmu pengetahuan yang mapan dan  kedewasaan diri untuk melangsungkan suatu perkawinan.
Umat sedharma, berdasarkan konsep catur asrama, perkawinan yang baik semestinya dilaksanakan setelah masa brahmacari, dimana kita telah memiliki suatu bekal ilmu pengetahuan yang dapat menghantarkan kita untuk menjadi orang yang bijaksana, sehingga bentuk dan pola pikir kita siap dalam menghadapi segala permasalahn yang kemungkinan muncul dalam kehidupan kita. Pernikahan di usia dini merupakan hal yang telah ada sejak lama karena sejak dulu banyak orang tua yang menikahkan anaknya di usia dini berharap kehidupan anaknya akan lebih terjamin dengan orang yang mereka kenal. Namun, pada kenyataannya anak yang menikah diusia dini banyak menemukan permasalahan yang akhirnya berujung pada perceraian. Penyebab terjadinya perkawinan dini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengaruh ekstern, misalkan akibat lingkungan keluarga yang kurang memperhatikan anaknya, pergaulan bebas, hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dan hamil diluar nikah juga merupakan alasan yang banyak dijumpai dikalangan masyarakat, sebab dilihat dari perkembangan jaman pada era globalisasi ini telah banyak budaya-budaya asing yang masuk dan memberi contoh yang buruk bagi perkembangan psikologis anak yang lama-kelamaan mengkikis nilai moral dan jati diri dalam diri anak. Dan pengaruh intern, yaitu pengetahuan agama atau sradha dalam diri seseorang yang kurang membuat sudut pandang terhadap sesuatu hal menjadi sempit.

Umat sedharma, agama Hindu memandang perkawinan usia dini ini bukan merupakan suatu perkawinan yang ideal. Karena usia muda atau remaja merupakan masa yang diharuskan untuk menuntut ilmu pengetahuan dan dharma (Brahmacari). Setelah masa itu tercapai, maka dapat dikatakan telah siap untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, yaitu grhasta (berumah tangga). Lebih jauh lagi, hal ini diuraikan dalam kitab Niti Sastra V. sargah 1, yang berbunyi;

“Taki-taki ning sewaka guna widya, smarawi, Saya rwang puluh ring anayusya, tengahi tuwuh san wacana gogonta. Patilaring atmeng tanu panguroken”
Artinya :
Seseorang wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun orang boleh kawin. Jika setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru.

Umat sedharma, disini sangat jelas sekali diuraikan bahwa kita semestinya memiliki kemapanan terlebih dahulu dibidang ilmu pengetahuan sebagai dasar kearifan dan kebijaksanaan, setelah itu kita dapat melanjutkan ke jenjang perkawinan dengan standar minimal umur kita 20 tahun. Dalam keadaan ini, ilmu pengetahuan agama dan sradha adalah kunci utama untuk terhindar dari permasalahan yang mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, seperti tindak kekerasan dalam rumah tangga, perceraian dan perkawinan berulang-ulang, memiliki istri banyak, dan sebagainya.

Demikian darma wacana ini semoga bisa menjadi pencerahan untuk bisa menjadi renungan agar kita  semua mengerti mengenai perkawinan dalam agama Hindu yang bersifat sakral dan suci yang seharusnya kita jaga kekekalanya sampai akhir hayat kita. Jika ada kesalahan dalam penyampaian dan kata-kata, Saya mohon maaf sebesar-besarnya dan untuk menutup dharma wacana ini Saya haturkan Pramasantih,

Om Santih, Santih, Santih

No comments:

Post a Comment