Pura Luhur Ulun Siwi, Peninggalan Kerajaan Tabanan
Pura Luhur Ulun Siwi |
Pura Luhur Siwi, Batu Lumbung yang berlokasi di Desa Adat Soka, Senganan, Penebel Kabupaten Tabanan merupakan salah satu Pura peninggalan kerajaan Tabanan. Pura ini sampai saat ini masih terawat dengan baik.
Kabupaten Tabanan sebagai daerah yang dingin dan sampai kinimasih tercatat sebagai lumbung beras daerah Bali, memang dari dulu sudah terkenal. Malahan di jaman kerajaan, keberadaan dunia pertanian di daerah ini mendapat perhatian serius dari para raja. Bukti dari keseriusan kerajaan Tabanan mempertahankan "Lumbung Beras" itu adalah dengan dibuatnya sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Luhur Ulin Siwi.
Dalam perjalanan sejarahnya, pura ini memang dibangun untuk menghormati Dewi Padi, yakni Dewi Kesuburan yang lebih dikenal di Bali dengan sebutan Dewi Sri. Pembuatan pura ini juga menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan oleh raja Tabanan dalam pertanian saat itu tidak hanya sebatas sekala, juga niskala.
Di kalangan krama pengempon, pura ini juga sering disebutkan sebagai Pura Batu Lumbung. Dilihat dari lokasi pura ini, Pura Batu Lumbung letaknya sangat agung. Inilah yang menyebabkan mengapa pura ini tampak begitu anggun dari kejauhan. Karena letaknya di puncak pegunungan, sehingga menuju pura ini perlu mendaki gunung atau naik sepeda motor tetapi harus ekstra hati-hati, sebab jalan yang bakal dilalui cukup terjal.
Pemerintahan Tabanan memang berbaik hati. Agar umat tidak susah-susah tangkil ke Pura Ulun Siwi, kini sudah dibuatkan jalan cukup lebar yang kelak nantinya bisa dilalui berbagai jenis kendaraan. Jalan tembus itu panjangnya sekitar 4 km dari Desa Adat Soka, tentu saja jarak yang cukup panjang yang harus dilalui dengan pejalan kami.
Jika kita melihat secara fisik bangunan pura ini, memang tampak sangat memprihatinkan. Sekalipun statusnya sebagai Pura Dang Khayangan, kelihatan sekali pura ini kurang terururs. Walaupun begitu semua ini tidak mengurangi pancaran magis yang dikeluarkan. Justru dengan kondisi sekarang ini, Pura Batu Lumbung tampak lebih medengen. Begitu juga pancaran spritualnya juga sangat tinggi, karena letaknya yang memang sepi, jauh dari keramaian kota dan desingan kendaraan.
"Bangunan pura ini sudah sepertinya direnovasi, aar kelihatan lebih bersih dan teratur" ungkap Jero Mangku I Wayan Sunadi dalam perbincangannya dengan Mingguan Baliaga saat tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Menurut juru sepuh pura, kondisi bangunan pura saat ini masih mendingan dibandingkan dengan dulu. Semua ini karena kepedulian krama pengungsung pura.
Dulu, pura ini sepertinya tidak ada yang mengurus, sekarang sudah lebih bersih, Parahyangannya sudah mulai ditata, begitu juga palinggih yang lainnya. "Walaupun begitu masih banyak bangunan palinggih yang memerlukan perbaikan," katanya menambahkan. Seluruh perbaikan pura ini dilakukan secara gotong royong oleh krama penyungsung, maupun mereka yang pernah tangkil ke Pura Ulun Siwi ini.
"Terus terang saja untuk perbaikan pura ini sekarang membutuhkan dana yang tidak sedikit," katanya menambahkan sembari berharap agar Pemda Bali juga ikut memperhatikan keadaan pura ini. Memang selama ini perbaikan pura ditanggung Pemda Tabanan.
Dalam perjalanan sejarahnya, pura ini memang dibangun untuk menghormati Dewi Padi, yakni Dewi Kesuburan yang lebih dikenal di Bali dengan sebutan Dewi Sri. Pembuatan pura ini juga menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan oleh raja Tabanan dalam pertanian saat itu tidak hanya sebatas sekala, juga niskala.
Di kalangan krama pengempon, pura ini juga sering disebutkan sebagai Pura Batu Lumbung. Dilihat dari lokasi pura ini, Pura Batu Lumbung letaknya sangat agung. Inilah yang menyebabkan mengapa pura ini tampak begitu anggun dari kejauhan. Karena letaknya di puncak pegunungan, sehingga menuju pura ini perlu mendaki gunung atau naik sepeda motor tetapi harus ekstra hati-hati, sebab jalan yang bakal dilalui cukup terjal.
Pemerintahan Tabanan memang berbaik hati. Agar umat tidak susah-susah tangkil ke Pura Ulun Siwi, kini sudah dibuatkan jalan cukup lebar yang kelak nantinya bisa dilalui berbagai jenis kendaraan. Jalan tembus itu panjangnya sekitar 4 km dari Desa Adat Soka, tentu saja jarak yang cukup panjang yang harus dilalui dengan pejalan kami.
Jika kita melihat secara fisik bangunan pura ini, memang tampak sangat memprihatinkan. Sekalipun statusnya sebagai Pura Dang Khayangan, kelihatan sekali pura ini kurang terururs. Walaupun begitu semua ini tidak mengurangi pancaran magis yang dikeluarkan. Justru dengan kondisi sekarang ini, Pura Batu Lumbung tampak lebih medengen. Begitu juga pancaran spritualnya juga sangat tinggi, karena letaknya yang memang sepi, jauh dari keramaian kota dan desingan kendaraan.
"Bangunan pura ini sudah sepertinya direnovasi, aar kelihatan lebih bersih dan teratur" ungkap Jero Mangku I Wayan Sunadi dalam perbincangannya dengan Mingguan Baliaga saat tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Menurut juru sepuh pura, kondisi bangunan pura saat ini masih mendingan dibandingkan dengan dulu. Semua ini karena kepedulian krama pengungsung pura.
Dulu, pura ini sepertinya tidak ada yang mengurus, sekarang sudah lebih bersih, Parahyangannya sudah mulai ditata, begitu juga palinggih yang lainnya. "Walaupun begitu masih banyak bangunan palinggih yang memerlukan perbaikan," katanya menambahkan. Seluruh perbaikan pura ini dilakukan secara gotong royong oleh krama penyungsung, maupun mereka yang pernah tangkil ke Pura Ulun Siwi ini.
"Terus terang saja untuk perbaikan pura ini sekarang membutuhkan dana yang tidak sedikit," katanya menambahkan sembari berharap agar Pemda Bali juga ikut memperhatikan keadaan pura ini. Memang selama ini perbaikan pura ditanggung Pemda Tabanan.
Pura Luhur Ulun Siwi, SINAR GAIB DAN PERINTAH SANG RAJA
Bagaimanakah sejarah berdirinya Pura Batu Lumbung ini?. Jero Mangku I Wayan Sunadi, juru sapuh Pura Ulun Siwi mengungkapkan, keberadaan pura ini erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Tabanan. Dikisahkan Jero Mangku, ketika Kerajaan Tabanan masih diperintah oleh Cokorde Tabanan, daerah ini dilanda bencana kemarau panjang yang sangat hebat. Bencana ini nyaris memusnahkan rakyat. Saat itu raja sangat cemas.
Terkait dengan bencana tersebut raja segera mengambil langkah-langkah untuk menanggulanginya. Raja kemudian mengumpulkan para patih kerajaan untuk merundingkan solusi yang tepat agar wilayahnya segera terbebas dari ancaman bencana kemarau itu.
Dalam paruman mahapatih itu diputuskan, perlu segera dicarikan jalan pemecahan untuk menghindari bencana ini dengan cara mencari sumber mertha. Untuk mencari sumber mertha para patih ditugaskan melakukan semadi disebuah hutan dekat pegunungan yang ada di Desa Soka sekarang ini. Dalam semadi itu ada sebuah ciri berupa cahaya sekadi tatit yang sumbernya tidak jelas. Anehnya cahaya itu selalu berpindah-pindah berkelebat dimana-mana sehingga para patih yang bersemadi menjadi bingung apa gerangan yang akan terjadi. Bahkan tidak jarang cahaya itu muncul diseantero Ageng.
Dari sinar gaib itu didapatkan sebuah pertanda atau cihna berupa "Buah Kekara" sejenis kacang yang sering dipakai sayur. Cahaya itu seolah-olah menuntun keajaiban yang ada di tempat tumbuhnya kekara tersebut. Dalam kesempatan yang sama patih dari kerajaan Tabanan ini juga mendengar sabda yang aneh. Sabda itu menyebutkan, dimana kekara itu tumbuh, disana akan ada sumber mertha yang dicari selama ini. Sabda itu juga mengungkapkan mentiknya (tumbuhnya) kekara merupakan anugrah merta yang bakal muncul.
Benar, setelah dilacak. Keajaiban terjadi, kekara itu tumbuh di Batu Ageng yang sampai kini masih berdiri tegar di pelataran palinggih. Melihat kekara yang tumbuh di Batu ageng itu, patih kerajaan lantas kembali ke Puri menghadap Cokorde Tabanan guna memberitahukan apa yang telah mereka saksikan ketika melakukan semadi.
Sesampainya pepatih itu di Puri diceritakan kejadian yang muncul ditempatnya bersemedi, akhirnya raja memerintahkan agar ditempat itu didirikan sebuah pura, maksud tiada lain mengucapkan terima kasih atas anugrah Ida Sanghyang Widhi yang berkenan mengabulkan permohonan umat. Pura ini dinamakan Pura Luhur Ulun Siwi Batu Lumbung, lokasinya di Desa Adat Soka, Desa Sengan, Penebel Tabanan.
Pura Ulun Danu Watu Lumbung ini merupakan sumber air bagi seluruh Subah-subak yang ada di Tabanan.
Pura Luhur Ulun Siwi, DITINGGALKAN SUBAK
Walaupun pura ini merupakan sumber air bagi seluruh subak yang ada di Tabanan, namun kini banyak subak-subak sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan pura. Akibatnya pura menjadi tidak terurus. Dulu pura ini memang disungsung seluruh subak, sekarang sudah ditinggalkan, ucap Jero Mangku kepada MBA dan kini tinggal disungsung subak yang masih aktif seperti Subak Poh Manis, Subak Pacung, Subak Tegeh, Subak Senganan.
Kalau semua subak bisa bergabung dengan Pura yang merupakan sumber air ini, pura ini bisa direnovasi dengan lancar. Tiang tidak mengerti mengapa subak-subak itu tidak aktif lagi, katanya bernada heran. jro Mangku mengungkapkan, dirinya menjadi suru sapuh di Pura Ulun Siwi ini karena warisan dari ayahnya. Piodalan di Pura ini jatuh pada Weraspati, Umanis Wuluku Sinta atau sehari setelah Pagerwesi.
Setiap piodalan banyak para pamedek yang tangkil ke Pura Batu Lumbung ini. Selain memiliki sejarah yang unik, di Pura ini juga ada sebuah sumber air yang maha dasyat sampai sekarang, tidak habis-habisnya mengalir walaupun dikelola oleh PDAM Tabanan untuk kebutuhan air minum untuk seluruh krama Tabanan.
Sumber air tersebut kini terkenal dengan sebutan "Sumber Air Gembrong" yang juga mengaliri sebuah sungai besar yang bernama Sungai Yeh Aha. Sumber air ini memang dayat diambil sebesar pohon kelapa namun mengalirnya juga sebesar pohon kelapa, papar Jero Mangku Sunadi ketika ada di Pura.
Ditambahkan oleh Jero Mangku pura ini mempunyai persimpangan yang lengkap karena masing-masing pelataran baik jaba tengah, maupun jaba sisi terdapat persimpangan dari berbagai pura yang ada kaitannya dengan pura Batu Lumbung. Adapun Palinggih persipangan yang ada adalah : Palinggih Ageng, Palingih Ibu Pertiwi, Palinggih Penerangan, palinggih Persimpangan Pucak Bukit Puwun, Pasimpangan Danu Tamblingan, dan juga terdapat Palinggih Rambut Sedana yang malinggih Manik Galih. Juga terdapat Bale Agung, Ratu Nyoman, Jero Nyoman. Dalem Batu Lumbung, Puseh Batu Lumbung dan juga Taman Sari
Apakah mereka sudah membuat subak baru atau ada permasalahan yang ada didalamnya. Seorang Petani yang mengaku bernama I Made Sukandia mengatakan, bisa jadi petani meninggalkan pura itu karena letaknya sangat jauh dari sawahnya, sehingga mereka memilih membuat subak sendiri. Walaupun begitu, kata Sukandia, mereka memang lepas dari Subak daerah ini, tetapi untuk tangkil ke Pura Ulun Siwi tetap mereka lakukan.
Seperti tiang, katanya menambahkan, dulu memang pernah masuk subak di sini, namun karena letak sawah saya jauh, maka saya lebih memilih ke subak yang terdekat. Maksudnya biar urusannya tidak begiru berbelit-belit. Lebih-lebih sakuran air disini kan sangat terbatas, sementara anggota subak yang harus dilayani cukup banyak. Saya bersama keluarga sendiri masing-masing tangkil ke Pura Ulun Siwi, lebih-lebih kalau ada odalan.
"Ke Widhi keluarga saya tidak pernah lupa, karena kami masih punya ikatan sejarah dengan pura ini". kata Sukandia yang dibenarkan oleh petani lainnya yang menjadi tetangga pura Ulun Siwi tersebut. Lepasnya krama dari subak ini, jangan diartikan mereka melepaskan diri dari Pura. Itu tidak benar. Bagaimanapun sebagai umat kita harus selalu menjunjung tinggi dan memujak keagungan-NYA.
Jero Mangku Sunadi:RAGU MENJDI JURU SAPUH
Dalam perjalanan hidupnya Jero Mangku Sunadi tidak bakal menyangka menjadi pemangku, awalnya dirinya mengaku belum siap dari umur maupun pendidikan agama yang dimiliki. Sebelum menjadi pemangku yang merupakan keturunan dari mendiang ayahnya Jero Mangku Sunadi sempat ragu selama enam bulan. Ini semua karena ketidaktahuannya tentang tata acara agama.
Disamping itu, sebagai manusia dirinya ingin tetap bebas mencari kehidupan untuk keluarga. Tapi apa yang terjadi, malah rumah tangga menjadi berantakan serba tidak benar dan kejadian aneh-aneh terjadi dilingkungan keluarga. Dan yang paling menyakitkan keluarga tiang sakit-sakitan. Berdasarkan dari kejadian itu akhirnya tiang iklas untuk ngayah walaupun tiang tidak tahu tentang kepemangkuan, ucap Sunadi mengisahkan dirinya.
Selanjutnya, ternyata menjadi pemangku tidak memberikan kesuitan hidup dalam sehari-hari baik dari materi maupun dari segi bathin seolah-olah seluruh keluarga ada yang menuntun menuju kehidupan yang lebih baik. Bahkan sebelum menjadi juru sapuh tiang selalu dselimuti dengan mimpi-mimpi.
Di samping mimpi itu pada awalnya dirinya tidak mengerti apa sebenarnya yang akan terjadi, karena tidak paham tentang makna mimpi tersebut, tetapi yang jelas mimpi bukan sekadar angan-angan bunga tidur semata. Di sinilah Mangku Sunadi mulai percaya dengan mimpi yang memiliki makna. Sebenarnya ketika bermimpi ngalap bunga itu, sebagai orang biasa, dirinya sudah bertanya-tanya apa yang bakal terjadi di kemudian hari.
Mimpi itu kemudian direnungkannya dalam-dalam, sampai akhirnya dia diajak untuk menjadi pemamngku. Asal tahu saja, katanya menambahkan. Dirinya sama sekali tidak pernah berangan-angan menjadi seorang pemangku. Dari dulu sampai sekarang tiang tidak pernah punya pikiran seperti itu, katanya polos. Teapi karena itu merupakan titah Ida Bhatara, tiang harus menjalaninya dengan tekun dan tulus. Kalau tidak nanti ada apa-apa yang terjadi dalam keluarga, tiang bisa repot.
Memang, banyak sekali orang-orang yang melakukan penolakan terhadap tugas yang dibebankan kepadanya, apakah menjadi pemangku, sulinggih dan sebagainya, ujung-ujungnya orang itu sakit. Pada saat sakit itulah kemudian mereka baru ingat akan perintah tersebut. Kemudian baru menerima perintah itu setelah ada kejadian. Nah bagi Mangku Sunadi pengalaman itu tentu saja tidak ingin ia alami sendiri, sebab selain takut dirinya juga merasa wajib melakukan dharmaning agama sebagai umat Hindu.
"Tiang melakuka tugas sebagai Pemangku ini dengan perasaan tulus", seloteh Mangku Sunadi lugu. Kewajiban sebagai Pemangu Pura Ulun Siwi ini , Mangku harus bangun pagi-pagi kemudian membersihkan halaman di sekitar pura. Setelah itu mengecek seluruh palinggih di Pura itu lalu membersihkannya. Jika ada umat yang hendak bersembahyang, Mangku Sunadi harus siap melayaninya. Begitulah pekerjaan sehari-hari yang harus dilakukannya dalam rangka menjalani tugasnya sebagai seorang pengabih Ida Bhatara yang bersthana di Pura ini.
Yang lebih menarik lagi Pura sungsungannya merupakan pemurah terhadap keluarganya karena selama ngayah dari sang ayahnya mendapatkan sebuah pica dari Pura. Dan ini tiang pakai sebatas untuk keperluan keluarga. Pica tersebut adalah sebuah permata yang sangat dirahasiakan karena tidak berani diketahui oleh orang banyak. Bahkan paica tersebut bisa dipakai menyembuhkan penyakit bagi keluarganya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, papar Jero Mangku seraya merahasiakan nama Paica yang kini dimilikinya. *Bali Aga 10 - 16 Agustus 2000
No comments:
Post a Comment